KABUPATEN CIREBON (CU) – Bulan Agustus biasanya menjadi bulan penuh berkah bagi para petambak garam. Sebab, di rentan bulan ini hingga September, mereka tengah panen raya. Selain garam yang diproduksi melimpah untuk dijual demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga tak sedikit garam yang disimpan sebagai bekal ketika musim penghujan.
Rerata dalam satu musim, petambak garam mampu produksi selama empat bulan, antara Juli-Oktober. Terkadang, ketika musim panas cukup panjang, mereka mampu memproduksi garam hingga enam bulanan, antara Juni-November.
Namun, ketika musim panas terbilang pendek atau faktor alam tak mendukung, satu-dua bulan saja sudah untung-untungan. Meskipun, tenaga atau biaya yang dikeluarkan sama-sama besar. Mulai dari sewa lahan (bagi yang tak punya lahan milik sendiri), mengolah lahan, membeli peralatan, dan kebutuhan lainnya.
Untuk kategori yang ketiga di atas, rupanya dirasakan para petambak garam di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon tahun ini. Selain di bulan Agustus masih jatuh gerimis yang menandakan musim panas belum begitu kelihatan, juga faktor alam yang terbilang kurang mendukung. Seperti pasang air laut atau rob yang sering kali merendam lahan tambak garam.
Padahal, tak sedikit petambak garam yang sudah mulai mengolah lahan sejak Mei 2021 lalu. “Setelah lebaran Idul Fitri sudah mulai ngolah lahan. Ya tiga bulanan, tapi belum juga bisa menghasilkan,” kata salah seorang petambak garam desa setempat, Rohadi.
Menurut dia, belum bisanya menghasilkan garam, karena lahan garapannya sering terendam rob. Sehingga, ketika proses pengeringan, harus memakan waktu lama. Tak hanya Rohadi, ratusan petambak garam pun mengalami hal yang sama. Kecuali, beberapa petambak yang lahan garapannya cukup jauh dari laut dan mereka yang pengolahan garamnya menggunakan plastik atau geomembran.
Musim panas tahun ini pun, banyak lahan garam yang tak bisa diolah karena masih sering terendam rob, jumlahnya mungkin mencapai ratusan hektare. “Malah di blok sana yang dekat keluar masuknya rob, sejak tahun lalu tidak bisa digarap,” kata Rohadi.
Tak hanya susah memproduksi garam, soal harga pun mereka harus tetap merasakan asinnya. Sebab dari dulu, harga garam di petani belum pernah sesejuk angin laut. Selain, masuknya garam impor, harga garam terkadang dipermainkan para tengkulak.
“Sekarang belum banyak yang panen harganya Rp 400 /kg,” kata salah seorang petambak garam lainnya, Tohari.
Tentu, kata Tohari, ketika sudah banyak yang panen, stok garam melimpah, tak menutup kemungkinan harga pun tambah merosot. “Yang menentukan harga garam di sini tengkulak. Biasanya kalau sudah banyak yang panen ya harganya tambah rendah. Rp 50 /kg juga pernah kok,” kata Tohari mengakhiri.
Editor : Jhon